WaroengBerita.com – Jakarta | Keputusan Presiden Joko Widodo untuk menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5% pada tahun depan memicu berbagai respons dari kalangan buruh. Salah satu yang memberikan tanggapan adalah Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal. Ia menjelaskan bahwa meskipun angka kenaikan tersebut sudah diterima oleh buruh, ada kekhawatiran bahwa kebijakan tersebut dapat berisiko terhadap terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi sebagian pekerja.
Dalam wawancara eksklusif dengan Kompas Bisnis, Said Iqbal menyatakan bahwa kenaikan upah sebesar 6,5% yang diputuskan oleh Presiden Prabowo Subianto, meskipun sudah diterima, tetap memunculkan pro dan kontra. “Kami, teman-teman buruh, bisa menerima kenaikan 6,5% yang telah diputuskan oleh Presiden. Namun, angka ini sebenarnya sedikit lebih rendah dari yang kami harapkan, yakni 8-10%,” ujar Said Iqbal saat ditemui di Jakarta, Senin (2/12/2024).
Faktor Penurunan Inflasi dan Daya Beli Buruh
Menurut Said Iqbal, ada dua faktor yang memengaruhi keputusan kenaikan UMP tersebut. Pertama, adanya deflasi yang terjadi selama lima bulan terakhir, yang menyebabkan tingkat inflasi menjadi lebih rendah. “Jika dihitung dengan mempertimbangkan deflasi selama lima bulan berturut-turut, seharusnya kenaikan upah bisa mencapai 8%. Namun, karena adanya deflasi, angka tersebut turun menjadi 6,5%,” jelasnya.
Faktor kedua yang mempengaruhi penerimaan buruh terhadap angka kenaikan tersebut adalah kenyataan bahwa selama lima tahun terakhir, upah minimum cenderung stagnan, bahkan ada tahun-tahun di mana tidak ada kenaikan sama sekali. “Tiga tahun terakhir, ada beberapa tahun di mana upah tidak naik, dan dalam dua tahun terakhir, kenaikan upah bahkan lebih rendah dari angka inflasi. Inilah yang menyebabkan daya beli buruh terus menurun,” tambah Said Iqbal.
Menurut KSPI, kenaikan upah yang tidak sebanding dengan inflasi menyebabkan buruh semakin kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Bahkan, inflasi yang mencapai 2,8% dalam beberapa tahun terakhir, sementara kenaikan upah hanya berkisar di angka 1,58%, memperburuk daya beli buruh. “Ini yang membuat kami menghitung upah riil, yang mempertimbangkan daya beli yang terkait dengan upah nominal dan indeks harga,” tambahnya.
Ancaman PHK
Said Iqbal juga menekankan bahwa meskipun kenaikan 6,5% diterima, buruh khawatir adanya potensi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi beberapa sektor. “Jika kenaikan upah ini dipaksakan di sektor-sektor tertentu, terutama yang memiliki tingkat profitabilitas rendah, kami khawatir akan terjadi PHK besar-besaran. Ini menjadi ancaman bagi pekerja, terutama di sektor manufaktur dan usaha kecil,” jelasnya.
Namun demikian, Said Iqbal tetap berharap bahwa pemerintah dan pengusaha dapat mencari solusi agar keseimbangan antara kenaikan upah dan kemampuan perusahaan tetap terjaga. Ia juga mengingatkan pentingnya dialog antara pihak pengusaha dan buruh dalam menyusun kebijakan yang adil bagi kedua belah pihak.
Menyikapi Keputusan Pemerintah
Walaupun ada kekhawatiran tentang PHK, Said Iqbal mengungkapkan bahwa KSPI dan buruh umumnya akan terus berjuang untuk hak-hak mereka, terutama terkait dengan peningkatan upah yang sesuai dengan kondisi inflasi dan daya beli. “Kenaikan 6,5% ini sudah lebih baik daripada tidak ada kenaikan sama sekali. Namun, kami akan terus memperjuangkan upah yang lebih adil di masa depan,” tutup Said Iqbal.
Keputusan pemerintah ini tentunya menjadi sorotan bagi seluruh kalangan, baik buruh, pengusaha, maupun masyarakat luas, terkait dengan keseimbangan antara kenaikan upah dan keberlanjutan ekonomi serta keberlangsungan dunia usaha di Indonesia.(Kompas)