Kasus Perlawanan Begal yang Berujung Kematian: Pembelaan Diri dalam Perspektif Hukum

Admin

Senin, 9 Des 2024 10:01 WIB
Array
Ilutrasi foto. (Dok : Barto/Ideogram)

WaroengBerita.com – Humbahas | Kasus perlawanan terhadap aksi begal yang berujung pada tewasnya pelaku tengah menjadi perhatian publik, terutama di Kabupaten Humbang Hasundutan. Beberapa pihak mempertanyakan apakah tindakan tersebut dapat dianggap sebagai pembelaan diri yang sah atau justru masuk dalam kategori tindak pidana. Praktisi hukum dan akademisi, Patar Mangimbur Permahadi Sihotang, memberikan penjelasan terkait dasar hukum dalam peristiwa semacam ini.

Patar, yang juga pengajar di Fakultas Hukum Universitas Prima Indonesia, menjelaskan kepada wartawan di Dolok Sanggul, Minggu (8/12/2024), bahwa menurut Pasal 49 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), seseorang yang terpaksa membela diri akibat ancaman penyerangan yang melawan hukum, baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain, tidak dapat dihukum. Hal ini menjadi dasar hukum utama dalam pembelaan diri yang mengarah pada kematian pelaku begal.

Menurut Patar, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu perlawanan dapat dianggap sebagai pembelaan diri. Pertama, perlawanan harus dilakukan dalam situasi yang mengancam nyawa korban. Kedua, tindakan pembelaan harus dilakukan secara spontan, sebagai respons langsung terhadap ancaman tanpa adanya jeda waktu. Ketiga, korban harus berada dalam kondisi mental yang terganggu akibat ancaman, sehingga perlawanan menjadi langkah yang tak terhindarkan.

Lebih lanjut, Patar juga mengutip Pasal 49 ayat (2) KUHP yang mengatur pembelaan diri dalam keadaan terpaksa. Asas “postulat Necessitas Quod Cogit Defendit” menyatakan bahwa pembelaan diri dapat dilakukan demi melindungi hak diri atau orang lain dalam situasi yang mendesak. Hal ini berlaku terutama ketika pelaku begal menggunakan senjata tajam atau senjata lainnya.

Patar menekankan pentingnya untuk memastikan bahwa perlawanan terhadap pelaku begal memenuhi kriteria yang diatur dalam Pasal 49 KUHP. Jika perlawanan tersebut dilakukan secara refleks untuk melindungi diri, misalnya dengan mendorong pelaku hingga tewas, maka tindakan tersebut dapat dibenarkan sebagai pembelaan diri yang sah. Namun, Patar mengingatkan bahwa pembelaan diri harus dilakukan sesuai dengan proporsionalitas dan situasi yang ada.

Namun, jika tindakan perlawanan tidak memenuhi syarat yang ditetapkan dalam hukum, maka bisa berpotensi dianggap sebagai tindak pidana penganiayaan atau penyerangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 351 juncto Pasal 170 KUHP. Oleh karena itu, pembelaan diri harus benar-benar dalam koridor hukum untuk menghindari tuntutan pidana yang mungkin timbul.(bs)

Berita Terkait

Komentar

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Terpopuler

Berita Terbaru

Chat WhatsApp