waroengberita.com – BNN RI melakukan rapat dengan Stakeholder guna memperkuat pengawasan distribusi psikotropika dan obat keras.
Dalam industri, psikotropika dan obat keras (Daftar G) sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pelayanan kesehatan serta pengembangan ilmu pengetahuan sehingga ketersediannya perlu dijamin. Namun membawa ancaman terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika secara ilegal. Oleh karena itu diperlukan pengawasan ketat mulai dari tingkat pengadaan, pengangkutan, transit, hingga penggunaan oleh dan user.
Menegaskan hal tersebut, dalam pembukaan rapat koordinasi BNN RI dengan Stakeholder dan komponen masyarakat, Pelaksana tugas Direktur P2 Deputi Pemberantasan BNN, A. Djoko Widiayanto, S.I.K., mengupamakan penggunaan psikotropika dan obat keras (Daftar G) bak pisau bermata dua.
Pada satu sisi, ketersediaan psikotropika untuk kepentingan pengobatan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga untuk kepentingan industri farmasi dalam negeri yang harus dipenuhi untuk menjamin keberlangsungan perekonomian negara, namun di sisi lain berisiko terjadi penyimpangan penggunaan psikotropika oleh pelaku kejahatan untuk diedarkan secara ilegal dan tanpa ijin”, ujar Plt. Direktur P2 Deputi Pemberantasan BNN.
Pernyataan ini diperkuat dengan terbongkarnya beberapa pabrik atau laboratorium gelap psikotropika dan obat keras (Daftar G) oleh BNN RI, POLRI, dan institusi penegak hukum lainnya, yang mengindikasikan bahwa Indonesia disamping sebagai pasar gelap psikotropika dan obat keras (Daftar G) juga menjadi produsen kedua bahan pokok cikal bakal narkotika tersebut.
Berdasarkan data yang diperoleh dalam Jurnal Data Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika (P4GN) Tahun 2019 yang diterbitkan oleh BNN RI, barang bukti psiktropika yang berhasil disita oleh BNN RI dan POLRI adalah 12.125 tablet Golongan IV; 722.572,5 tablet Golongan III; 11.003,22 gram Ketamine; 9.613 tablet Happy Five; dan 351.292,5 tablet Daftar G.
Dalam rapat koordinasi yang dihadiri oleh 11 perwakilan perusahaan farmasi besar di Indonesia, BNN RI menghadirkan narasumber dari berbagai institusi terkait yang memiliki wewenang dalam melakukan pengawasan distribusi dan penggunaan psikotropika dan obat keras (Daftar G) seperti, POLRI, Kementerian Kesehatan, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), serta dari pelaku usaha farmasi seperti Kimia Farma.
dr. Wiendra Waworuntu, M.Kes., Direktur Tata Kelola Obat Publik dan Perbekkes Kementerian Kesehatan RI, dalam paparannya tentang Kebijakan Kementerian Kesehatan terkait Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi menyampaikan bahwa sebagai bentuk pengendalian dan pengawasan terhadap peredaran narkotika, psikotropika, dan prekursor di Indonesia, telah ditetapkan berbagai aturan yang harus ditaati oleh industri farmasi, PBF, dan IF Pemerintah, salah satunya adalah kewajiban membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan produksi dan penyaluran produk jadi narkotika, psikotropika, dan prekursor untuk industri farmasi serta laporan pemasukan dan penyaluran narkotika, psikotropika, dan prekursor obat jadi untuk perusahaan besar farmasi.
Sementara itu, Imam Fathorrahman, Direktur Pemasaran dan Komersial PT Kimia Farma Tbk, mengatakan bahwa sebagai pelaku usaha industri farmasi telah melakukan perannya sebagai produsen dan distributor obat golongan narkotika sesuai dengan aturan yang berlaku, namun Ia mengakui adanya beberapa issue yang harus diwaspadai dalam pengelolaan obat golongan narkotika dimulai dari tahap pengadaan, penyimpanan, hingga penyaluran.
Melalui rapat koordinasi ini diharapkan sinergitas instansi/lembaga terkait dengan stakeholder dapat memperkuat aksi dan kerja sama secara nasional dalam melawan Narkoba khususnya melalui pengawasan distribusi dan penggunaan psikotropika dan obat keras (Daftar G), sehingga dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika dan obat keras (Daftar G).
Sumber : bnn.go.id